Kamis, 14 Oktober 2010

dilema budaya mundur di jepang

Share Jepang adalah negara yang kerap diwarnai pengunduran diri pejabat. Budaya malu dan merasa bersalah begitu kental dalam kehidupan mereka. Apabila seorang pejabat publik bersalah, secara otomatis ia akan mengundurkan diri dari jabatannya.

Pekan lalu (3/5), Jepang kembali mengalami hal itu. Menteri Luar Negeri Jepang, Seiji Maehara, mengundurkan diri dari jabatannya. Maehara terbukti menerima donasi dari warga Korea Selatan yang bermukim di Tokyo. Total nilai donasinya hanya 250.000 Yen (sekitar Rp 25 juta). Uang tersebut tidak sepeserpun digunakan untuk pribadi Maehara, namun sebagai dana sumbangan partai politiknya, atau Partai Demokrat Jepang (DPJ).

Entah karena tidak tahu, atau kurang teliti, tenyata pemberian itu melanggar UU Partai Politik di Jepang, yang tidak boleh menerima sumbangan dari bukan warga negara. Meski jumlahnya tidak besar, hanya Rp 25 juta, Maehara tetap dianggap melanggar.

Di satu sisi, mundur adalah wujud pertanggungjawaban dan moral. Namun di sisi lain, pengunduran diri yang berulang kali terjadi di Jepang, cukup melelahkan dunia politik dan masyarakat Jepang. Sebelum Maehara, Menteri Kehakiman Yanagida mengundurkan diri bulan November 2010 karena merasa bersalah atas komentarnya yang tidak pantas di Parlemen. Bulan Juni 2010, Menteri Jasa Keuangan Kamei mundur akibat proses parlemen yang menurutnya tidak masuk akal. Di tahun 2009, ada sekitar 4 orang menteri yang mengundurkan diri karena berbagai alasan.

Perdana Menteri Naoto Kan, yang saat ini menjabat, adalah Perdana Menteri Jepang ke-lima dalam lima tahun terakhir ini. Rata-rata PM Jepang bertahan antara 200 hingga 300 hari. Mereka mundur karena merasa tidak mampu memimpin Jepang, ataupun tidak sanggup memenuhi janji politiknya. Berulangkalinya pejabat Jepang mundur ini mengakibatkan ongkos politik menjadi begitu mahal dan Jepang terus terbelit dalam masalah ekonomi yang tak kunjung usai.

Pengunduran diri pejabat yang begitu sering dapat mengakibakan kontinyuitas pemerintahan terganggu. Mundurnya Menlu Maehara misalnya, menjadi pukulan telak bagi pemerintahan PM Kan, karena terjadi jelang beberapa saat pertemuan Menteri Luar Negeri Negara G-8 di Paris, akhir bulan ini. Maehara adalah “the rising star” dalam kabinet PM Kan. Ia diproyeksikan untuk menggantikan PM Kan di masa depan. Dengan mundurnya Maehara, partai DPJ kehilangan figur masa depan yang potensial.

Mundurnya Maehara juga menekan posisi PM Kan, yang saat ini semakin rapuh. Banyak pengamat memperkirakan PM Kan tidak akan mampu bertahan hingga akhir tahun ini. Dari hasil polling terakhir yang dikutip Nikkei, dukungan bagi PM Kan turun di bawah 20%, sementara tingkat ketidaksetujuan menjadi 67%.

Dilihat dari sisi ekonomi, Jepang saat ini dihadapkan pada permasalahan ekonomi yang berat. Setelah posisinya sebagai kekuatan ekonomi nomor 2 dunia diambil alih oleh Cina, perekonomian Jepang makin suram. Lembaga pemeringkat Rating, Fitch dan Moody’s, telah memotong rating Jepang, karena tingkat utang pemerintahnya yang tertinggi di dunia. Meski 95% utang pemerintah Jepang adalah utang domestik, pihak internasional tetap khawatir apabila dalam jangka panjang Jepang menghadapi masalah dalam memenuhi kewajibannya. Saat ini utang publik Jepang sudah melebihi 200 persen dari GDP. Selain utang yang tinggi, pertumbuhan ekonomi Jepang tetap lesu, dan masih terus berada pada jeratan deflasi yang berkepanjangan.
12995953401547463060

Perdana Menteri Jepang Naoto Kan (kiri) menunduk / allvoices.com

Untuk dapat keluar dari krisis fiskal itu, PM Kan menawarkan jalan untuk melakukan reformasi fiskal dan perpajakan. Namun, langkah ini seret di parlemen, karena ia harus berhadapan dengan pihak oposisi yang menguasai parlemen. Akibatnya, usulan sebesar 43 triliun Yen untuk menjaga keberlanjutan fiskal dengan mengeluarkan obligasi, belum disetujui. Usulan reformasi pajak, keberlanjutan subsidi pendidikan, juga belum disetujui Parlemen. Pihak Oposisi malah menawarkan untuk mengadakan pemilu pada bulan Juni 2011. Dengan kondisi tersebut, pemerintahan PM Kan pun kini menghadapi deadlock politik.

Mundurnya PM Hatoyama tahun lalu, karena tidak mampu memenuhi janji memindahkan pangkalan militer AS di Futenma, tetap tidak menyelesaikan masalah struktural di Jepang. Apabila kemudian PM Kan mundur dan diganti, spiral politik ini masih belum akan usai karena Jepang akan kembali terjebak pada pergantian kekuasaan demi pergantian kekuasaan, yang menghambat pemulihan ekonomi.

Selain masalah pada PM Kan, saat ini anggota Kabinet PM Kan juga menghadapi masalah. Kasus Maehara ini merembet pada menteri-menteri lainnya yang dianggap juga menerima donasi untuk partai. Menteri Keuangan, Yoshihiko Noda, dan Menteri Revitalisasi Pemerintahan, Renho Murata, juga mengalami tuduhan serupa. Mereka dianggap menerima dana dari pengusaha yang mengalami masalah perpajakan. Noda dituduh menerima 800.000 Yen, dan Renho menerima 1.2 juta Yen.

Apabila kemudian tuduhan ini terbukti, bukan tidak mungkin mereka akan mengikuti langkah Maehara, mengundurkan diri. Renho adalah Menteri termuda di Kabinet Kan, dengan usia 41 tahun. Mundurnya kader-kader muda ini tentu sebuah kehilangan bagi pemerintahan Kan dan partai DPJ.

Di satu sisi, budaya mundur sangat bagus sebagai pertanggungjawaban moral. Hal ini tentu lebih baik daripada mereka yang bersalah tapi tetap bersikukuh di jabatannya. Seorang pejabat publik yang melakukan kesalahan, harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Namun apa yang terjadi di Jepang saat ini sudah dianggap berlebihan, bahkan oleh masyarakat Jepang sendiri. Pengunduran diri pejabat yang terjadi berulang kali pada gilirannya memiliki dampak yang berat pula bagi pemulihan ekonomi. Hal ini telah menimbulkan dilema bagi Jepang sendiri. Dengan berbagai dilema tersebut, perekonomian Jepang diperkirakan masih akan menghadapi jalan terjal untuk dapat keluar dari krisis.

Salam dari Tokyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mungkin anda meminati :