Perkembangan olah raga sepeda yang kian merebak ternyata berpotensi terkena pajak. Baru-baru ini hal tersebut dijadikan wacana dikalangan DPRD Jawa Tengah sebagai peluang untuk mendapatkan tambahan pendapatan asli daerah. Wacananya, DPRD tengah menggodok kemungkinan sepeda angin yang berseliweran di jalan itu dikenai pajak atau dipasangi penning.
Anggota Komisi C Pajak dan Aset Daerah DPRD Jawa Tengah, Masruhan Samsurie, Rabu (21/3/2012), mengemukakan, kepemilikan masyarakat atas sepeda berkembang pesat. Sepeda kini tidak lagi menjadi barang biasa, tetapi sudah mengarah pada barang mewah. Itu bisa dilihat dari harga sepeda yang tidak murah lagi. Harga sepeda mulai naik, mulai dari harga biasa di kisaran Rp 2,5 juta sampai sepeda dengan harga lebih dari Rp 35 juta per unitnya.
"Penggemar sepeda yang mampu membeli sepeda di atas harga Rp 10 juta per unit tentu bukan warga biasa. Jadi, potensi pendapatan pasti ada sekiranya sepeda-sepeda itu bisa dikenai pajak atau retribusi yang berlaku setahun sekali," ujar Masruhan Samsurie dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Populasi sepeda berkembang pesat dalam lima tahun terakhir. Itu bisa dilihat dari kegemaran olahraga bersepeda yang marak setiap kali akhir pekan atau tiap ada pergelaran yang selalu diisi dengan kegiatan sepeda gembira. Pesertanya bisa lebih dari 10.000 orang menggunakan sepeda.
Atas wacana sepeda akan dikenai retribusi atau ketika masa lalu dinamai penning, yakni pajak sepeda yang bukti pembayarannya berupa pelat tipis atau pelat besi yang dilingkarkan di batang rangka sepeda, Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Agus Suranto mengemukakan, pengenaan pajak sepeda harus berlandaskan aturan atau semacam peraturan daerah atau setingkatnya.
Jika dikaji lebih dalam pajak sepeda di Indonesia memang sudah ada sejak masa pemerintahan Kolonial, dan terus dilanjutkan pada masa pemerintahan Jepang.
Bahkan pada masa itu, dengan dalih untuk membiayai perang demi membantu kemerdekaan Indonesia, pemerintah pendudukan Jepang berlaku lebih ketat dalam menerapkan aturan pajaknya. Tidak boleh ada warga masyarakat yang terlambat membayak pajak, karena denda akan menanti jika mereka terlambat.
Untuk itu pemerintah pendudukan Jepang rajin memberitahu dan mengingatkan warga dengan mengeluarkan pengumuman yang dimuat dalam koran-koran yang beredar saat itu agar para pemilik sepeda dan kendaraan lain segera membayar pajaknya. Bagi warga Jakarta dan sekitarnya, pengumuman itu dimuat dalam koran Asia Raya, yang isinya;
Jakarta Tokubetsu Shichoo mempermaklumkan bahwa: Pajak sepeda buat tahun 1945, banyaknya f 1,-atau f 0,75 harus dilunasi sebelum tanggal 1 bulan 3 tahun 1945;
Kini kepada mereka yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk membayar pajak itu pada tiap-tiap hari kerja;
a. di Kantor Bendahara Jakarta Tokubetsu Shi, Kebon Sirih no. 22 dari jam 9.30 -1.30 siang, kecuali hari Kamis dari jam 9.30 -12 (mulai tangal 16 sehingga 29 bulan 2 juga dari jam 4 -7 sore).
b. di Kantor Kesehatan Kota, jalan Kanna no. 10 dan di pasar-pasar: Jatinegara, Senen, Sawah Besar, Glodok dan di Tanah Abang dari jam 9.30 -1.30 ada kesempatan untuk membayar pajak itu. Tapi kesempatan untuk membayar ditempat-tempat tersebut hanya diadakan selama bulan Januari 1945. Sepeda harus dibawa.
Pemasangan tanda-tanda pajak jika dikehendaki dapat pula dilakukan di sekolah-sekolah, kantor-kantor perusahaan, dan sebagainya, yaitu untuk paling sedikitnya 50 sepeda dan uang pajak harus dibayar lebih dahulu. Permintaan dapat diajukan kepada Kantor Bendahara Jakarta Tokubetsu Shi (telepon 2733 pesawat 24). Kesempatan ini juga berlaku 1 bulan saja.
Bilamana pembayaran pajak dilakukan sesudah waktu yang telah ditentukan, maka pajak itu ditambah dengan 20%, akan tetapi jumlah tambahan itu paling banyak f 1,-untuk tiap-tiap kendaraan.
Selanjutnya diperingatkan bahwa kewajiban membayar pajak yang dimaksud di atas berlaku untuk semua penduduk Jakarta Tokubetsi Shi yang mempunyai dan atau mempergunakan kendaraan sebagai disebut di atas, kecuali jika menurut peraturan yang berlaku dapat dibebaskan dari pembayaran pajak itu (Asia Raya, 14 Januari 1945).
Sepeda yang sudah dibayar pajaknya itu akan diberi penneng, yaitu lempengan logam yang ditempelkan pada bodi sepeda sebagai bukti pembayaran pajak sepeda sehingga mudah terlihat oleh polisi yang memeriksanya. Pada masa itu, polisi sering melakukan razia untuk mengecek penneng dan kalau benda ini tak ada, kita pun akan kena denda. Itulah sebabnya sepeda harus dibawa ketika membayar pajak. (ard/kcm/int)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar